Setelah membahas tentang keutamaan bersyukur, saat ini kita akan mengkaji hakikat syukur itu sendiri apa? Supaya kita bisa mengecek apakah kita sudah benar-benar bersyukur atau belum?
Para ulama menjelaskan bahwa hakikat syukur adalah pengakuan seorang hamba akan karunia Allah, dengan penuh ketulusan, ketundukan dan rasa cinta.
- Sehingga barang siapa yang tidak menyadari nikmat, maka ia belum dianggap bersyukur.
- Begitu pula orang yang sudah menyadari nikmat, namun tidak tahu siapakah yang mengaruniakan nikmat tersebut, maka ia juga belum dianggap bersyukur.
- Sedangkan orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui siapa yang mengaruniakannya, namun ia mengingkari hal tersebut; maka ia pun belum dianggap bersyukur.
- Adapun orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui Sang pemberi nikmat serta mengakui-Nya, tetapi ia tidak patuh dan cinta pada-Nya; maka ia juga belum dianggap bersyukur.
- Orang yang sudah menyadari nikmat dan mengetahui Sang pemberi nikmat serta mengakui-Nya, juga ia patuh dan cinta pada-Nya; inilah orang yang dianggap telah bersyukur.
Jadi, syukur itu dibangun di atas lima pilar:
- Ketundukan hamba terhadap Sang pemberi nikmat.
- Kecintaan kepada-Nya.
- Pengakuan atas karunia-Nya.
- Pujian terhadap-Nya.
- Tidak menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang dibenci oleh-Nya.
Inilah lima pondasi syukur. Bila salah satunya tidak terpenuhi, maka syukur belum dianggap sempurna. Sebaliknya bila kelimanya telah dilakukan hamba, maka ia telah dianggap bersyukur dengan baik.
Perealisasiannya adalah dengan hati, lisan dan anggota tubuh. Hati mewujudkan ketundukan, ketulusan dan kecintaan kepada Allah. Lisan melakukan pengakuan dan pujian pada Allah. Sedangkan anggota tubuh melakukan ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ta’ala.
Nikmat Allah yang harus kita syukuri teramat banyak. Namun secara garis besar terbagi menjadi dua:
Nikmat yang bersifat ukhrawi. Seperti nikmat hidayah memeluk agama Islam dan memahami tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Inilah nikmat yang Allah perintahkan pada kita agar selalu kita minta pada-Nya di dalam shalat kita.
“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ”
Artinya: “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus”. QS. Al-Fatihah (1): 6.
Nikmat yang bersifat duniawi. Seperti nikmat sehat, keturunan, kedudukan, rizki dan yang semisalnya.
Segala nikmat tersebut di atas wajib untuk disyukuri. Baik yang duniawi, terlebih lagi yang bersifat ukhrawi. Sungguh syukur merupakan pengikat dari nikmat yang sudah kita miliki, sekaligus merupakan pengait nikmat-nikmat yang belum kita miliki.
Diringkas oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari kitab Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (I/275-279).
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Syawal 1435 / 18 Agustus 2014